Si Gadis


posted by Ratri Anggardani Prayitno on ,

No comments

Sore itu, di ujung trotoar, seorang lelaki duduk di atas motornya sambil memainkan telepon genggam keluaran Denmark yang sudah terlalu uzur. Bermain “Snakes” sepertinya. Entah sudah berapa level yang telah ia taklukan sembari menunggu.
Dari ujung trotoar satunya, seorang gadis dengan setelan kaos dan jeans, lengkap dengan jaket hijau lumut dan tas kanvas datang berjalan ke arah si Lelaki. Tepat di hadapan si Lelaki, si Gadis memasang senyum lebar, menutupi rasa bersalah. Mereka memutuskan untuk segera beranjak. Peluit kereta api dan besi yang beradu menjadi iringan kepergian mereka.

Tak banyak yang mereka bicarakan selama perjalanan sore itu. Cuaca dan kabar sudah dari tadi mereka tamatkan. Si Gadis memilih larut dalam semburat senja. “Terlalu sunyi, aku tidak suka,” pikir si Gadis, “Tapi untuk saat ini, biarlah sunyi.”

Do you feel the way I do? Right now

Tak lama, sebuah kafe kecil menjadi persinggahan mereka. Wangi kayu dinding kafe dan setangkup roti bakar terlalu menggugah untuk diabaikan lama-lama di antara senandung lagu hujan. Tapi mereka tetap harus bicara, apapun kecuali tentang kabar dan cuaca. Mereka mulai tergelak tawa pada hal-hal yang entah apa. Si Gadis tak suka sunyi, sunyi hanya boleh untuk sendiri. Apapun, mereka harus tetap bicara, termasuk kisah-kisah mereka.

Sekali waktu si Lelaki terlihat amat sibuk dengan telepon genggamnya dan sesekali tersenyum. “Ah iya, si Wanita,” batin si Gadis, kemudian tersenyum. Ada yang salah dari senyum itu, tapi si Lelaki terlalu asik pada tombol-tombol yang hampir copot itu untuk sekedar menyadarinya.
Pernah sekali ada seseorang yang berkata pada Si Gadis, “Aku kasih tahu ya, laki-laki itu punya banyak cinta, tapi dia hanya punya satu hati.”
Tidak, si Gadis bukan salah satu cinta si Lelaki, dia hanya salah satu dari pemujanya. Ini jauh lebih baik daripada mengacaukan semuanya. Ia bukan cenayang, tapi ia sudah tahu bagaimana akhirnya. Kemudian si Gadis kembali mengambil sepotong roti bakar dan memakannya sambil menghela nafas panjang. Ia harus segera memasang senyum lebarnya kembali.

I’m having trouble breathing
I’m afraid of what you’ll see right now

Hujan telah reda, langit cerah dan bintang bertaburan, udara menjadi terlampau dingin. Si Gadis kembali duduk dengan nyaman di belakang punggung si Lelaki, menatap bintang yang sudah lama tak ia lihat. Sesaat ia mengalihkan pandangan pada bahu yang nampak nyaman di hadapannya. Ia sadar, saat itu hatinya menyuruhnya untuk meminjam bahu itu sejenak, namun otaknya dengan sekuat tenaga mengontrol semua otot dan syaraf tubuhnya untuk menjauh. Kali ini, otaknya kembali menang. Ia sedikit membetulkan duduknya, agak menjauh dari gravitasi punggung si Lelaki.

And I will make sure to keep my distance
Say I love you when you’re not listening

Si Gadis tersenyum mensyukuri keadaan mereka, biarpun di sudut hatinya ia sempat berdoa bahwa cerita mereka akan berbeda. Tapi sudahlah, si Gadis tak mau menggantungkan kisahnya kepada bintang yang terlampau tinggi. Ia tak tahu, bahwa ia adalah salah satu pecahan hati si Lelaki. Dan semakin malam, bibir mereka terlalu dingin untuk bercakap-cakap. Malam itu mereka hidup dalam kisah mereka masing-masing.



Lyrics: Distance by Christina Perri

Leave a Reply